Saturday, October 1, 2011

Ketika Rasa Jenuh Merasuki Jiwa

" Rasanya, hampir tak ada karyawan yang tidak mengimpikan jenjang karir. Siapa yang mau menjadi staf level terbawah terus-menerus selama dua puluh tahun? Masalahnya, meraih karir yang lebih baik ternyata bukan urusan mudah bagi sebagian besar orang. Struktur organisasi perusahaan yang seperti piramida sangat tidak memungkinkan setiap orang menjadi supervisor atau manajer bahkan direktur.

Maka, rasa jenuh akibat karir mentok pun tak terhindarkan. Jika sudah seperti ini, apa yang akan Anda lakukan? "

Samarinda, siang ini iseng-iseng googling tentang tips menghadapi karir yang mentok, dan mendapati sebuah artikel yang cukup bagus di sini.

Empat tahun lebih, berkutat pada sebuah kegiatan pekerjaan yang itu-itu saja dan di tempat yang sama, pada akhirnya akan membuat sebuah proses menjadi sebuah rutinitas belaka, tak peduli seberapa menantangnya pekerjaan tersebut pada awalnya. Kebosanan, kejenuhan itu pasti datang… pasti, dan itu sangat manusiawi sekali. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya bagaimana cara kita memandang dan menghadapinya itulah yang membedakan dan menentukan kualitas diri kita.


Yakinlah.. dunia belum kiamat dan belum berakhir ketika kau sangat mempercayai bahwa karirmu sudah mentok, saya selalu mempercayai bahwa selalu ada makna di balik setiap kejadian. Apa yang terjadi hari ini, suatu saat akan menjadi kisah yang bakal membentuk diri kita di masa depan. Jadi bagaimana sikap dan perilaku kita sekarang ada di diri kita sendiri pilihannya, apakah kita memilih untuk memiliki kisah indah tentang diri kita yang nantinya akan kita ceritakan kepada anak cucu kita betapa hebatnya kita ketika menghadapi sebuah kondisi yang “helpless” dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka, atau kita memilih untuk memilih mati perlahan, tersudut di pojokan dan di masa depan tidak ada kisah yang bisa diceritakan.

Berat memang melawan kejenuhan, namun satu sisi itu adalah tantangan kedua setelah tantangan pertama yang telah berhasil kita tamatkan… Tantangannya sekarang adalah bagaimana membentuk pola pekerjaan yang selalu tetap bisa mencapai target-target perusahaan sembari kita bertarung melawan kebosanan dalam diri kita. Selama kita memutuskan untuk bertahan di pekerjaan kita yang sekarang, kita tidak seharusnya dan tidaklah elok untuk mengeluh walau seberapapun pahitnya pil yang harus kita telan. Karena walau bagaimanapun darah-darah yang mengalir dan daging-daging yang terbentuk di tubuh dan keluarga kita adalah berasal dari yang perusahaan tempat kita merasa bosan sekarang.

Pertama-tama, pertanyakan pada diri kita sendiri, mengapa kita masih bertahan di pekerjaan ini sementara kita merasa bosan dan sudah tidak tertantang lagi? Dan jawaban yang paling pas pastinya adalah belum ada pekerjaan yang lebih baik di luar sana, entah itu soal gaji, job desk, lingkungan, suasana, gengsi dan lainnya. Artinya, tempat kerja kita yang sekarang masihlah yang terbaik bagi kita.

Selanjutnya coba ikuti beberapa tips dari artikel tersebut...
Lantas, bagaimana cara mengatasi kejenuhan pekerjaan, terutama ketika karir sudah mentok? Eileen Rachman & Bintang Sitorus dalam tulisan mereka “Karir Mentok? Sudahkah Berinvestasi pada Diri Sendiri?”, mengatakan bahwa justru pada saat kita merasa ”helpless” itulah karir kita memang betul mentok. Sekarang bukan saatnya untuk mengharapkan pihak lain, atau perusahaan bertanggungjawab atas pengembangan diri kita. Profesional yang berhasil adalah mereka yang meyakini bahwa tanggung jawab untuk masa depan dan pengembangan karir ada di tangan dirinya sendiri.

“Lihatlah kenyataan bahwa orang yang karirnya menanjak punya kebiasaan luar biasa yang menyebabkan dirinya tidak berhenti ”walk the extra mile” untuk berinvestasi di dalam dirinya,” tulis Eileen Rachman & Bintang Sitorus.

Berinvestasi pada diri sendiri, itulah yang disarankan oleh kedua penulis ini. Caranya adalah dengan terus meningkatkan keterampilan, ilmu dan wawasan. Kita bisa meningkatkan kemampuan manajerial, memperbaiki cara bergaul dengan orang lain, mengoptimalkan perangkat kerja seperti komputer, internet, handphone dan sebagainya untuk menunjang karir, dan seterusnya.

Kiat lainnya diberikan oleh Iqbal Irwansyah, staf Radio Access Network 3G di PT Ericsson Indonesia, Jakarta. Menurutnya, ketika dilanda bosan, kita bisa mencari variasi baru dalam bekerja. Misalnya kita biasa mengerjakan pekerjaan dengan cara A, sekarang coba dengan cara B.

Ia juga menyarankan agar kita tak pernah berhenti mencari ilmu yang baru, atau menyelesaikan pekerjaan dengan bobot yang lebih baik. “Insya Allah itu bisa mengurangi rasa jenuh,” ujar lulusan Politeknik Negeri Jakarta ini.

Sementara itu, Yadi, seorang content editor di sebuah website yang berbasis di Jakarta, mengungkapkan pengalamannya dalam mengatasi rasa jenuh.

“Awalnya, saya merasa amat bosan karena karir saya sudah mentok, dan saya merasa hopeless banget. Sepertinya sudah tak ada jalan keluar. Bahkan ketika mencoba mencari pekerjaan lain, sampai sekarang belum berhasil juga,” ujarnya.

Kebosanan itu membuat kinerjanya merosot tajam. Semula, ia tak begitu mempedulikan hal ini. Tapi ia mulai sadar ketika teman-temannya satu tim mengucilkan dirinya dari pergaulan. Mereka ternyata merasa terganggu oleh pola kerja Yadi yang semakin buruk, sebab kesalahan seorang anggota tim tentu akan berpengaruh pada anggota tim lainnya. Selain itu, manajer Yadi mulai sering menegurnya karena melalaikan pekerjaan.

“Akhirnya saya merasa bersalah sendiri. Saya merasa berdosa karena seperti orang yang makan gaji buta. Kantor memberikan saya gaji yang besar, tapi saya seperti orang yang tak tahu balas budi,” ujarnya. Maka, Yadi pun mencoba berubah.

Kiat pertama yang ia terapkan adalah mencoba menghilangkan kebiasaan untuk menbanding-bandingkan dirinya dengan teman-temannya yang menurut dia jauh lebih sukses. “Saya harus bangga dengan apa yang saya miliki,” ujarnya.

Kedua, mengambil sisi positif dari setiap pekerjaan yang ia lakukan, termasuk pekerjaan yang paling membosankan sekalipun. Contohnya, salah satu tugasnya di kantor adalah men-scan dokumen cetak ke komputer, sebuah pekerjaan yang sebenarnya sepele, tapi memakan waktu yang tidak sedikit. “Semula saya bosan dengan pekerjaan seperti ini. Tapi ternyata, sambil menunggu pekerjaan scan selesai, saya bisa membaca koran atau majalah. Artinya, justru pekerjaan seperti ini membuka peluang bagi saya untuk menambah wawasan,” ujarnya.

Ketiga, bersikap ikhlas. Setelah dipelajari, Yadi mengakui bahwa ternyata salah satu penyebab kebosanan dia adalah karena ia merasa “tidak level” untuk mengerjakan tugas-tugas kantor yang baginya terlalu sepele. “Sekarang, saya mencoba menikmati saja pekerjaan-pekerjaan seperti itu. Ikhlas deh pokoknya. Saya yakin, ini adalah sumber rezeki yang terbaik dari Allah buat saya saat ini., Tapi agar otak saya berkembang, saya mencari kegiatan-kegiatan yang lebih berbobot di luar jam kerja,” ujarnya.

Keempat, meningkatkan komunikasi dan silaturahmi dengan teman-teman satu tim. Selama ini, banyak teman yang “memusuhi” dia karena mereka tidak mengetahui masalah apa yang sedang dihadapinya. Tapi setelah Yadi curhat pada mereka, ternyata mereka pun menghadapi masalah yang lebih kurang sama. “Saya jadi kagum karena mereka bisa tetap bekerja dengan baik walau ada rasa bosan. Saya jadi termotivasi untuk meniru mereka.”

Kelima, berani berinisiatif. Yadi mencoba mengerjakan beberapa pekerjaan yang sebenarnya bukan bagian dari job discription dia. Misalnya, ia membantu mengerjakan tugas-tugas teman satu timnya. Alasan Yadi, “Saya merasa punya kompetensi untuk mengerjakan tugas itu. Tapi tentu saja, saya harus membicarakan hal ini dengan mereka, juga dengan manajer saya, agar tak ada salah paham,” Ujarnya.

Dan keenam, tentu saja dengan terus berusaha mencintai pekerjaan. Sebab walaupun sangat menbosankan, pekerjaan itulah yang menjadi sumber rezekinya selama ini. “Saya juga berdoa agar Allah memberikan jalan bagi saya untuk bisa mencintai pekerjaan dengan tulus,” ujarnya.

Sumber: Media Optimis, My Greatest World

No comments: